Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.
Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus memiliki daya larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang relatif tidak dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan absorpsi yang tidak sempurna, atau tidak menentu sehingga menghasilkan respon terapeutik yang minimum. Daya larut yang ditingkatkan dari senyawa-senyawa ini mungkin dicapai dengan menyiapkan lebih banyak turunan yang larut, seperti garam dan ester dengan teknik seperti mikronisasi obat atau kompleksasi.
Suatu produk obat dapat berbeda dari produk pabrik lain dalam hal bahan baku, komposisi/formula, serta fabrikasinya. Perbedaan tersebut dapat menyebabkan perbedaan dalam pelepasan bahan obat dari sediaan yang akhirnya akan berpengaruh pada efikasi/kemanjuran produk tersebut. (Abdou, 1989, Blanchard, Swachuck, Brodie, 1979). Pada umumnya produk obat mengalami absorbsi sistemik melalui suatu rangkaian proses yang meliputi :
disintegrasi produk yang diikuti dengan pelepasan obat
pelarutan obat dalam media “aqueous”
absorbsi melalui membran sel menuju sirkulasi sstemik
Pada ketiga proses di atas ditentukan oleh tahap yang paling lambat di dalam suatu rangkaian proses kinetic yang sering disebut tahap penentu kecepatan (Rate Limiting Step). Untuk obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju pelarutan seringkali merupakan tahap yang paling lambat di dalam, oleh karena itu mengakibatkan terjadinya efek penentu kecepatan terhadap bioavailabilitas obat. Sebaliknya untuk obat yang mempunyai kelarutan besar dalm air, laju pelarutannya cepat sedangkan laju lintas atau tembus obat melewati membran merupakan yahap penentu kecepatannya.
Telah banyak publikasi yang menyatakan adanya hubungan yang bemakna antar kecepatan disolusi berbagai bahan obat dari sediaannya dan absorbsinya. Obat-obat tersebut umumya meliputi obat-obat yang kecepatan disolusinya sangat lambat yang disebabakan kelarutannya sangat kecil. Obat-obat yang memiliki kecepatn disolusi intrinsik yang < 0,1 mg/menit.cm2 biasanya menimbulkan masalah serius pada absorbsinya, seangkan obat-obat yang memiliki kecepatan disolusi intrinsic > 1,0 mg/menit.cm2. Pada umunya kecepatan disolusi bukan menjadi langkah penentu, tapi kecepatan absorbsinya.
Disolusi didefinisikan sebagai proses dimana suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses dimana zat padat melarut. Secara prinsip dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dengan pelarut. Dalam penentuan kecepatan disolusi dari berbagai bentuk sediaan padat terlibat berbagai proses disolusi yang melibatkan zat murni. Karakteristik fisik sediaan, proses pembasahan sediaan, kemampuan penetrasi media disolusi ke dalam sediaan, proses pengembangan, proses ddisintegrasi, dan degradasi sediaan, merupakan sebagaian dari faktor yang mempengaruhi karakteristik disolusi obat dari sediaan.
Kecepatan Pelarutan
Secara sederhana kecepatan pelarutan didefinisikan sebagai jumlah zat yang terlarut dari bentuk sediaan padat dalam medium tertentu sebagai fungsi waktu. Dapat juga diartikan sebagai kecepatan larut bahan obat dari sediaan farmasi atau granul atau partikel-partikel sebagai hasil pecahnya bentuk sediaan obat tersebut setelah berhubungan dengan cairan medium. Dalam hal tablettent bias diartikan sebagai mass transfer, yaitu kecepatan pelepasan obat atau kecepatan larut bahan obat dari sediaan tablet ke dalam medium penerima. Penelitian tentang disolusi telah dilakukan oleh Noyes Whitney dan dalam penelitiannya diperoleh persamaan yang mirip hokum difusi dari Fick :
dc = DAK (Cs-C)
dt h
dimana :
dc/ct : laju pelarutan obat
D : tetapan laju difusi
A : luas permukaan partikel
Cs : kadar obat dalam “stagnant layer”
C : konsentrasi obat dalam bagian terbesar pelarut
K : koefisien partisi munyak/air
h : tebal “stagnant layer”
Dari persamaan di atas terlihat bahwa kinetika pelarutan dapat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia, formulasi, dan pelarut.
Banyak cara untuk mengungkapkan hasil kecepatan pelarutan suat zat atau sediaan. Selain persamaan di atas cara lain untuk mengungkapkan pelarutan adalah sebagai berikut :
1. Metode Klasik
Metode ini dapat menunjukkan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu t, yang kemudian dikenal dengan T-20, T-50, T-90, dan sebagainya. Karena dengan metode ini hanya menyebutkan 1 titik saja, maka proses yang terjadi di luar titik tersebut tida diketahui. Titik terebut menyatakan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu tertentu.
2. Metode Khan
Metode ini kemudian dikenal dengan konsep dissolution efficiency(DE)area di bawah kurva disolusi di antara titik waktu yang ditentukan. Dirumuskan dengan persamaan sebagi berikut :
DE = 0t ∫Y dt x 100%
Y100.t
Beberapa eneliti mensyaratkan bahwa penggunaan DE sebaiknya mendekati 100% zat yang terlarut. Keuntungan metode ini adalah :
dapat menggambarkan seluruh proses percobaan yang dimaksud dengan harga DE
dapat menggambarkan hubungan antara percobaan in vitro dan in vivo karena penggambaran dengan cara DE ini mirip dengan cara penggambaran pecobaan in vivo
3. Metode linierisasi kurva kecepatan pelarutan dengan menggunakan sebagai contoh persamaan wagner
Berdasarkan pada asumsi sebagai berikut :
a. kondisi percobaan harus dalam keadaan sink yaitu Cs>>>C
b. proses pelarutan mengikuti orde I
c. luas permukaan spesifik (S) turun secara eksponensial fungsi waktu
d. kondisi proes pelarutannya non reaktif
AlatUji Disolusi Farmakope
Uji disolusi hamper di semua negar telah mengikuti kriteria dan peralatan yang sama. Sedangkan metode dan peralatan secara rinci dinyatakan dalam masing-masing farmakope, seperti jecepatan pengadukan, komposisi volume media dan ukuran mesh dapat bervariasi untuk monografi individu obat dan masing-masing farmakope.
Alat Uji Disolusi 1 dan 2
Cara pertama yang diuraikan dalam Farmakope Indonesia adalah cara keranjang yang menggunakan pengaduk jenis keranjang dan cara yang kedua adalah cara dayung yang menggunakan pengaduk bentuk dayng. Di Farmakope Indonesia kedua cara ini dikenal dengan cara keranjang dan dayung. Faktor yang mempengaruhi kecepatan pelarutan suatu zat yaitu :
(3;26-27)
•Temperatur
Naiknya temperatur umumnya memperbesar kelarutan zat yang
endotermis, serta memperbesar harga koefisien difusi zat.
•Viskositas
Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan
pelarutan suatu zat sesuai dengan persamaan Einstein. Naiknya
temperatur juga akan menurunkan viskositas sehingga memperbesar
kecepatan pelarutan.
•pH Pelarut
pH pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat-zat yang
bersifat asam lemah atau basa lemah.
•Pengadukan
Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi.
Bila pengadukan cepat maka tebal lapisan difusi berkurang sehingga
menaikkan kecepatan pelarutan suatu zat.
•Ukuran Partikel
Bila partikel zat terlalu kecil maka luas permukaan efektif besar
sehingga menaikkan kecepatan pelarutan suatu zat.
•Polimorfisa
Kelarutan suatu zat dipengaruhi oleh adanya polimorfisa. Karena
bentuk kristal yang berbeda akan mempunyai kelarutan yang berbeda pula. Kelarutan bentuk kristal yang meta stabil lebih besar daripada yang bentuk stabil, sehingga kecepatan pelarutannya besar.
•Sifat permukaan zat
Pada umunya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat
bersifat hidrofob, dengan adanya surfaktan di dalam pelarut akan
menurunkan tegangan permukaan antara partikel dengan pelarut,
sehingga mudah terbasahi dan kecepatan pelarutan bertambah.
0 komentar:
Posting Komentar